Minggu, 10 Oktober 2010

EVALUASI KINERJA DAN AKUNTABILITAS PEMERINTAHAN DAERAH

EVALUASI KINERJA DAN AKUNTABILITAS PEMERINTAHAN DAERAH

            Evaluasi kinerja lahir sebagai salah satu fungsi dari diterapkannya manajemen kinerja atau sering dikenal dengan performance management. Manajemen kinerja merupakan metode untuk mengukur kemajuan program atau aktivitas yang dilakukan oleh organisasi sektor publik dalam mencapai hasil atau outcome yang diharapkan oleh klien dalam hal ini disebut masyarakat. Manajemen kinerja juga diartikan sebagai suatu pendekatan sistematika untuk memperbaiki kinerja melalui proses yang berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik, mengukur kinerja, mengumpulkan, menganalisa dan melaporkan data kinerja serta mempergunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja.
            Pendekatan manajemen berbasis kinerja ditandai sebagai bagian dari reformasi New Public Management yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dan Anglo-Amerika sejak tahun 1980-an. Fokus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran yang berorientasi pada outcome (hasil) bukan lagi sekedar pengukuran input atau output saja.
            Performance based management merupakan bagian dari gerakan welfare reform di negara-negara Eropa. Gerakan reformasi kesejahteraan ini mengkehendaki organisasi sektor publik, khususnya pemerintahan, memberikan pelayanan yang efisien dan efektif kepada masyarakat. Konsekuensi gerakan welfare reform adalah meningkatnya kebutuhan terhadap sistem manajemen kinerja. Organisasi publik juga dituntut untuk membuat sistem akuntabilitas berbasis kinerja (result-based accountability system).
            Manajemen berbasis kinerja membutuhkan alat yang disebut dengan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu dengan menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program atau kegiatan. Dengan kata lain pengukuran kinerja merupakan elemen pokok manajemen kinerja. Pengukuran kinerja ini jugalah yang menjadi awal  meningkatkan akuntabilitas pemerintah (sektor publik).
            Di negara kita penerapan manajemen kinerja dilakukan dengan menerapkan sistem manajemen pemerintahan strategik (orientasi hasil, akuntabel dan trnasparan). Langkah itu ditempuh dengan penerbitan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) sesuai dengan Inpres No 7/1999 yang mengatur bahwa instansi pemerintah harus memiliki Renstra, berakunbilitas dan melaporkan kinerjanya kepada pihak yang berhak atau berkewenangan. Kemudian pemerintah kita juga menerapkan ABK (Anggaran Berbasis Kinerja) yang diatur lewat UU No 17/2003 tentang keuangan negara dimana pengganggaran dilakukan dengan pendekatan prestasi kerja. Penerapan manajemen kinerja juga dituangkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diatur dalam UU No 25/2004 yang bertujuan menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
            Manajemen Kinerja dalam rangka peningkatan akuntabilitas instansi pemerintah juga diterapkan di pemerintahan daerah di negara kita. Manajemen kinerja Pemerintahan Daerah merupakan upaya yang ditempuh dalam peningkatan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Manajemen kinerja di pemerintahan daerah yang notabenenya merupakan salah satu sektor publik dilakukan dengan 5 tahapan, yaitu : perencanaan, implementasi, monitoring/evaluasi, diagnosis/perbaikan dan pelaporan.
            Perencanaan merupakan merupakan aspek yang penting, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan organisasi. Dengan perencanaan berarti terdapat pemikiran secara matang baik itu pada hal-hal yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang maupun penggunaan sumber daya yang akan menunjang pekerjaan, diharapkan arah langkah kita menjadi terarah, sumber daya terkelola dengan baik, sehingga tidak terjadi pemborosan waktu, sumber daya, dan biaya yang berlebihan.
            Dalam manajemen kinerja pemerintah, proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan strategik. Perencanaan strategik adalah proses yang sistematis dan berkelanjutan dimana para anggota pemandu organisasi, membuat keputusan mengenai masa depan organisasi, mengembangkan prosedur dan langkah operasional yang diperlukan mencapai depan tersebut dan menentukan cara mengukur keberhasilan tersebut. Perencanaan strategik juga merupakan rencana tindakan dan kegiatan yang dibuat oleh pimpinan puncak untuk diimplementasikan oleh seluruh jajaran organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Rencana strategik atau Renstra  dalam pemerintahan secara nasional diatur dalam UU N0 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pada pemerintahan daerah (PP No 8/2008 tentang Evaluasi Perencanaan Pembangunan Daerah). Rencana strategik pemerintah daerah dimuat dalam Renstrada dan juga Renstra untuk SKPD yang sifatnya sekarang lebih lokalitas.
            Dalam Renstra (Rencana Strategik) terdapat dua hal penting yaitu : Ensuring dan Contolling. Ensuring memuat bahwa renstra menjamin bahwa strategi yang dipilih akan dilaksanakan dengan baik dan strategi tersebut menghasilkan hasil yang diharapkan. Sedangkan controlling merupakan proses membandingkan keadaan sekarang dengan keadaan yang direncanakan, menganalisa perbedaan-perbedaan tersebut dan melakukan langkah-langkah perubahan yang diperlukan.
            Implementasi merupakan pelaksanaan dari perencanaan kinerja yang telah dibuat. Perencanaan kinerja yang dibuat oleh pemerintah daerah tentunya dituangkan dalam kebijakan. Kebijakan itu dimuat dalam RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah). Dalam dokumen inilah dimuat program dan kegiatan untuk dilaksanakan dalam tahap implementasi.
            Dalam melaksanakan program-program pembangunan, seringkali pemerintah daerah terkendala mewujudkan program-program pembangunan yang telah dibuat. Untuk itu pemerintah dapat mengambil kebijakan dengan mendorong masyarakat agar lebih pro-aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Pemerintah dapat memulainya dengan memilah-milah bidang tugas apa saja yang masih mungkin dilakukan sendiri dan mana yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Secara umum pilihan yang diambil meliputi swastanisasi, kemitraan dan kontrak kerja.
            Swastanisasi merupakan penyelenggaraan program pembangunan dimana pihak pemerintah dibantu oleh pihak swasta. Secara umum, pihak swasta menjadi pemodal dan pengelola untuk program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah ini. Contohnya : swastanisasi pembangunan jalan, swastanisasi penyelenggaraan puskesmas dan sebagainya. Kemitraan merupakan bentuk pelaksanaan pembangunan dimana dalam hal ini pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat atau swasta. Masing-masing pihak dapat menyumbangkan sumber-sumber yang dimilikinya dan menyelenggarakan secara bersama-sama. Kontrak kerja merupakan model yang sudah umum dipraktekkan dalam pelaksanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam model ini pihak swasta hanyalah sebagai pelaksana pekerjaan yang ditawarkan kepadanya melalui proses tender ataupun penunjukkan langsung, sedangkan pemerintah bertindak sebagai pemilik dan pengguna jasa pihak swasta atau masyarakat.
            Untuk menjaga agar pelaksanaan program pembangunan yang dilakukan berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Maka dalam manajemen kinerja diperluka proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Monitoring atau pemantauan berarti pengumpulan, analisis, pelaporan dan penggunaan informasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Monitoring seringkali disamakan dengan evaluasi. Akan tetapi pada kenyataannya monitoring dan evaluasi dapat dipisahkan berdasarkan cakupan, waktu, actor, tujuan dan objek pengukuran.
            Monitoring dilaksanakan pada proses pelaksanaan, tapi tidak dilakukan untuk hasil pembangunan. Waktu pelaksanaan monitoring dilakukan mulai dari awal hingga akhir kegiatan, pihak yang melakukan monitoring umumnya adalah pihak internal yang bertanggungjawab atas pelaksanaan program pembangunan. Tujuan dari dilaksanakannya monitoring adalah untuk mencegah penyimpangan dan objek pengukurannya antara rencana dengan implementasi.
            Sedangkan evaluasi memiliki cakupan lebih luas, karena evaluasi memandang keseluruhan aktivitas yang dilakukan hingga terhadap hasil dari program pembangunan. Berbeda dengan monitoring, evaluasi dilakukan pada periode tertentu, biasanya dilakukan di awal kegiatan (pra-evaluation), ditengah kegiatan (middle evaluation) dan di akhir kegiatan (final evaluation). Pelaksanaan evaluasi dilakukan oleh pihak internal dan eksternal yang memiliki keterkaitan dengan program pembangunan yang dilaksanakan. Tujuan dari dilaksanakannya evaluasi adalah untuk mencapai efektivitas dan efisiensi hasil. Pengukuran dalam evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara standard dengan hasil (antara rencana dengan realisasi).
            Berdasarkan bentuknya evaluasi dibedakan atas tiga macam, yaitu: evaluasi administratif, evaluasi yudisial dan evaluasi politik. Evaluasi administratif adalah evaluasi yang dilakukan dengan fokus utama di arahkan pada aspek financial dan prosedur kebijakan publik yang dievaluasi. Evaluasi yudisial merupakan evaluasi yang diarahkan terhadap pengamatan berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada dalam kebijakan publik tersebut. Evaluasi yudisial ini menyangkut legalitas kebijakan yang dilaksanakan. Sedangkan evaluasi politik adalah evaluasi yang menyangkut pertimbangan politik dari sebuah kebijakan publik. Evaluasi ini dilakukan karena hakikat kebijakan publik melibatkan proses politik. Evaluasi politik disebut juga evaluasi yang paling kuat, karena meski evaluasi administratif dan evaluasi yudisial terpenuhi namun evaluasi ini tidak dipenuhi, pelaksanaan program pembangunan sering dianggap gagal.
            Di pemerintahan daerah evaluasi mengalami perubahan. UU No 22/1999 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa evaluasi berada ditangan DPRD. Namun, berdasarkan hasil revisi UU No 22/1999 yaitu UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah, evaluasi terhadap pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat. Aktor yang melakukan evaluasi terhadap pemerintahan daerah terdiri atas : pemerintah ( ada internal evaluation, yaitu inpektorat daerah, dan eksternal evaluation, yaitu : BPK, BPKP). Swasta dan pihak LSM juga turut melakukan evaluasi terhadap pemerintahan daerah yang berlangsung. Kebijakan yang mengatur evaluasi pemerintahan daerah diantaranya adalah : LAKIP berdasarkan Inpres No 7/1999. Disampaikan ke menteri pendayagunaan aparatur negara. LPPD (Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah), dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.
            Pelaksanaan evaluasi tidak semata-mata diarahkan kepada pertanggungjawaban keuangan. Tapi juga terhadap kinerja kegiatan. Hal ini diatur dalam PP No 8/2006 tentang Pelaporan Kinerja Keuangan dan Kinerja Kegiatan. Evaluasi yang dilakukan terhadap pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan langkah dalam mewujudkan manajemen kinerja yang telah dimulai dari perencanaan strategik.
            Langkah selanjutnya yang dilaksanakan sebagai salah satu fungsi manajemen strategik adalah melakukan diagnosa-perbaikan terhadap hasil evaluasi yang dinilai kurang memuaskan. Diagnosa-perbaikan kinerja atau performance improvement bertujuan sebagai ketetapan pada kualitas yang tinggi dan pelayanan yang mapan. Hasil-hasil yang dicapai melalui sebuah proses yang mempertimbangkan konteks institusional, menggambarkan kinerja yang diinginkan, mengidentifikasi gap antara kinerja yang diinginkan dan kinerja actual, mengidentifikasi akar-akar sebab (proses diagnosa), menyeleksi intervensi untuk mengatasi gap-gap dan mengukur perubahan dalam kinerja.
            Performance diperbaiki melalui tiga cara yaitu : performance improvement, performance consulting dan performance technology. Performance improvement adalah tujuan atau manfaat dari proses memfokuskan pada hasil dan perubahan individual dan organisasi. Performance consulting memfokuskan pada dukungan perbaikan kinerja, dan performance technology adalah pemfokusan penyediaan sarana untuk memecahkan masalah-masalah kinerja.
            Dalam melakukan diagnose-perbaikan dipakai tiga model, yaitu : performance improvement, yaitu perbaikan kinerja secara bertahap, benchmarking yaitu dengan melakukan perbaikan dengan melakukan pembandingan terhadap praktek terbaik dengan kondisi, serta reengineering yaitu proses perbaikan kinerja dengan melakukan perubahan radikal atau perubahan total dari cara yang digunakan.
            Setelah melakukan perbaikan terhadap kinerja maka tahapan selanjutnya dari fungsi manajemen kinerja adalah pelaporan kinerja. Pelaporan kinerja adalah segenap kegiatan menyusun dan menyampaikan keterangan tertulis mengenai segala sesuatu kepada pihak yang berwenang mengetahui hasil laporan itu. Pelaporan kinerja di instansi pemerintah disampaikan lewat LAKIP dan LPPD.
            Proses penyampaian laporan kinerja merupakan langkah akhir tahapan manajemen kinerja yang dilakukan pemerintah. Dengan pelaporan kinerja maka langkah selanjutnya dari keseluruhan manajemen kinerja telah dilaksanakan. Kekurangan yang ditemukan lewat manajemen kinerja pada suatu pelaksanaan program pembangunan akan menjadi bahan perencanaan strategiknya untuk masa yang akan datang.
            Pelaksanaan manajemen kinerja sebagaimana disebutkan pada lembaran awal merupakan suatu cara untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah baik di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akuntabilitas sesungguhnya juga merupakan salah satu prinsip dari paradigma Good Public Governance.
            Arti “good” dalam Good Governance memiliki dua perspektif. Pertama dari perspektif masyarakat, dimana good mengandung nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Sedangkan yang kedua berasal dari perspektif pemerintah, yaitu tentang aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan fungsi.
            Secara umum Good public governance mengandung makna tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik serta dapat pula diungkapkan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Good Public Governance merupakan suatu konsepsi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani. Tata kepemerintahan yang baik terkait erat dengan kontribusi, pemberdayaan dan keseimbangan tiga pilarnya (pemerintah, dunia swasta, dan masyarakat). Tata kepemerintahan yang baik juga mensyaratkan adanya kompetensi birokrasi sebagai pelaksana kebijakan politik/publik atau sebagai perangkat otorita atas peran-peran negara dalam menjalankan amanat yang diembannya.
            Orientasi Good Public Governance mencakup tiga aspek yaitu : Politik, Administrasi dan Demokrasi. Orientasi politik berkaitan dengan pengarahan dan pencapaian tujuan nasional yang mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara, dengan elemen-elemen kontituennya seperti : legitimacy, accountability, supremacy of human right, autonomy and devolution of power serta assurance of civilian control.
            Aspek administrasi mencakup bagaiaman pemerintahan berfungsi secara ideal yakni, secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik, serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien. Yang terakhir adalah aspek demokrasi, yaitu bagaimana partisipasi potensi masyarakat. Bahwa seluruh masyarakat terlibat positif sesuai peran masing-masing dalam proses pembangunan bangsa.
            Prinsip-prinsip good public governance memiliki beberapa kriteria. Bappenas melalui Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik mengembangkan 14 prinsip penyusunan tata kepemerintahan yang baik. Namun, sebagai langkah awal, instrument ini berusaha untuk menelaah empat prinsip utama, yaitu : transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan supremasi hukum. Sedangkan menurut UNDP, Good Governance memiliki beberapa karateristik yaitu : participation, rule of law, tranparancy, responsiveness, consensus of orientation, equity, effectiveness & efficiency, accountability dan strategic vision.
            Dari karateristik inilah prinsip akuntabilitas dikembangkan. Akuntabilitas memandang bahwa para pembuat keputusan dalam pemerintahan, swasta maupun masyarakat harus bertanggungjawab kepada publik. Akuntabilitas juga berarti kemampuan untuk menjawab (answerability), dan menerima konsekuensi (consequences) atas kinerja seluruh proses kebijakan publik. Kemampuan menjawab adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab dan menerangkan secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan dan complain yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut. Sedangkan konsekuensi adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban jika indikator dan target kinerja tidak terpenuhi.
            Penerapan prinsip akuntabilitas penyelenggara pemerintahan diawali saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), serta pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya (process accountability), sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak optimal sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability).
Penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability). Dengan aparat yang ada didalam instansi pemerintahan itu sendiri (inwards accountability). Serta penerapan prinsip akuntabilitas kepada atasan instansi pemerintah itu (upwards accountability). Tanggung jawab dalam upwards accountability memandang bahwa terdapat tiga unsur yang harus menerapkan prinsip akuntabilitas yaitu : Pemerintah, Parlemen dalam hal ini Lembaga Legislatif, dan Masyarakat.
Pemerintah daerah melaporkan akuntabilitas kinerjanya lewat LAKIP (Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah) dan LPPD (Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah). LAKIP berpedoman pada Rensta, dan isi LAKIP memuat kinerja dari pemerintah daerah yang melaksanakan Rencana Kerjanya selama setahun atau dalam kurun waktu lima tahun. Kebijakan LAKIP diatur lewat Inpres No 7/1999 yang didukung oleh Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik dan Bebas KKN. Disamping itu LAKIP dan LPPD merupakan instrument penilaian kinerja sesuai dengan PP No 8/2006 tentang Laporan Kinerja Keuangan dan Kinerja Kegiatan Pemerintah.
Hal-hal yang dilaporkan dalam LAKIP di pemerintahan daerah dimuat berdasarkan program pembangunan yang diprioritaskan dan diutamakan di suatu daerah dalam kurun waktu 1 tahun  atau 5 tahun. Dalam LAKIP inilah jelas dilihat kinerja keuangan dan kinerja kegiatan pemerintah daerah. Pengukuran kinerja kegiatan dilakukan dengan menggunakan indikator. Yaitu : Input, Proses, Output, Outcome, Benefit dan Impact. Sementara kinerja keuangan diukur dengan indikator tingkat efisiensi. Selain LAKIP, salah satu yang menjadi laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah termuat dalam LPPD. LPPD berisikan pertanggungjawaban kegiatan yang menggunakan dana dari APBD atau APBN. LPPD disusun berdasarkan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang menjadi urusan pilihan pemerintah yang termuat dalam RPJM adalah aspek yang dilaporkan pemerintah daerah dalam LPPD.
LPPD bagi daerah yang baru dimekarkan atau daerah baru, berisikan laporan persiapan peneyelenggaraan pemerintahan, baik itu yang menyangkut mekanisme pilkada, persiapan susunan perangkat daerah, dan keperluan lain yang dibutuhkan daerah baru dalam menjalankan pemerintahannya. Sementara bagi daerah yang sudah mapan, atau daerah yang telah memiliki kondisi pemerintahan yang sudah tertata lengkap, LPPD berisikan aspek-aspek seperti yang tercantun dalam LAKIP.
Selain dari pihak pemerintah, lembaga legislatif di daerah yakni DPRD juga memiliki laporan kinerja. Laporan dari pihak DPRD ini dituangkan dalam LKPJ, yang berisikan pertanggungjawaban menyangkut pelaksanaan APBD. Pihak lain yang memiliki semacam laporan dalam upwards accountability adalah masyarakat. Dimana masyarakat mendapatkan dan menuangkannya dalam ILPPD. ILPPD disalurkan lewat media massa maupun media elektronik kepada seluruh masyarakat. Penginformasian ILPPD bisa dibantu pemerintah daerah juga.
            Selain melaksanakan akuntabilitas terhadap pihak yang membutuhkan pertanggungjawaban, secara umum ada empat hal aspek akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Empat aspek itu meliputi : Political Accountability, Hierarchical Accuntability, Legal Accountability, dab Professional Accountability.
            Political accountability, adalah akuntabilitas yang berkaitan dengan kinerja pemerintah terhadap berbagai aktivitas politik baik internal maupun eksternal. Hierarchical accountability adalah akuntabilitas kedalam organisasi yang mencakup penerapan fungsi-fungsi manajemen yang harus dimantapkan. Legal accountability adalah akuntabilitas untuk menjaga legitimasi kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dan dapat menjamin keabsahannya. Sedangkan professional accountability adalah akuntabilitas yang didasarkan pada profesi yang dimiliki.
            Satu aspek yang juga bisa dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah Religy Accountability, meskipun aspek ini terkait kepada keyakinan dan kejujuran hati dari penyeleggara pemerintahan.
            Itulah yang menjadi aspek akuntabilitas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Akuntabilitas dirasakan perlu sebagai wujud dari manifestasi produk manajemen kinerja di sector publik. Manajemen kinerja merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam mewujudkan akuntabilitas. Akuntabilitas diwujudkan sebagai pengimplementasian prinsip-prinsip manajemen kinerja mulai dari tahap perencanaan strategik hingga pelaporan kinerja.
            Memang dalam pelaksanaan peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah, sering ditemuin masalah. Karena itu perlu dilakukan koordinasi antara pihak-pihak terkait yang berperan aktif dalam menciptakan evaluasi manajemen kinerja agar sasaran akuntabilitas pembangunan dapat dicapai dengan baik.
            Selain kerjasama pihak-pihak terkait, pencapaian akuntabilitas juga tentunya didukung oleh mekanisme peraturan-perundangan yang jelas sehingga instansi pemerintah baik departemen, kelembagaan dan pemerintah daerah mampu menyusun system akuntabilitas kinerja yang baik. Hal lain yang juga amat perlu diperhatikan adalah bahwa akuntabilitas kinerja juga membutuhkan sumber daya aparatur yang handal, berkompeten dan berpengetahuan sehingga proses manajemen kinerja dapat di rencanakan dengan baik, diimplementasikan dengan benar, dan dilaporkan dengan berkualitas.










1 komentar:

  1. Kambi online casino - Kardangpintar
    In this case 온카지노 주소 we do not intend to use the casino games or gambling at any place in our casino. You will need to register by email.

    BalasHapus